"Kau menyukainya?" Alfred bertanya di sela napas memburunya. Ah, wanita di hadapannya sungguh sayang dilewatkan. Pesona di depannya sangat indah untuk dipandang.
Sang lawan bicara tersenyum manis, menyerang Alfred dengan tatapan sayu yang bersifat magis. Ia mengalungkan kedua lengannya pada leher si pria. "Kau masih bertanya? Kupikir segalanya telah ditangkap oleh otak pintarmu itu," tanya sang wanita melayang menggoda.
Alfred mengikik geli, kekasihnya itu memang paling ahli melambungkan hati. Ditatapnya lama netra sang wanita, disatukannya kedua kening mereka. "Jika otakku pintar, aku tidak akan terjebak bersamamu. Jika otakku pintar, maka kurelakan kebodohan menguasai diriku hanya saat berada di depanmu."
Tawa mengudara bersamaan dengan lengkapnya kalimat yang Alfred lontarkan. Sepasang kekasih itu menikmati waktu luang mereka yang jarang-jarang. Keduanya sepakat untuk saling menghangatkan hingga pagi menjelang. Sayangnya, semesta senang sekali membuat nasib penghuninya menjadi malang. Beberapa menit setelah berlaku curang, ponsel sang wanita berdering kencang. Seluruh atensi mengarah ke benda kotak di atas nakas; tertera nama 'suamiku' pada layar. Alfred mendesah pasrah, mata wanitanya membelalak nyalang.
"Sayang, kurasa ini saatnya aku pulang." Rayu sang wanita sembari mengelus surai hitam kelam milik Alfred.
"Lakukan sesukamu," sahut si pria sebelum mengubah posisi. Alfred melangkah menuju balkon kamarnya, memantik api pada batang rokok yang tersemat di bibirnya. Tanpa menoleh pun, Alfred tahu bahwa sang wanita kini pergi meninggalkan dirinya dengan terburu-buru.
Kasihanilah Alfred. Niatnya tidur tenang dalam dekapan, tetapi malah berakhir suram. Inginnya dihujani afeksi rasa, tetapi malah tenggelam dalam lautan putus asa. Hubungannya memang sementara, cinta yang dibubuhkan pun bersifat fana, dijalankan demi kesenangan semata. Sial-sialnya dunia, manusia hanya makhluk penikmat dusta.
